z Ketik: 2014

Pages

Senin, 22 September 2014

United Kalah, Wujud Kerinduan Hairdryer Treatment?



Kini kursi manajer Manchester United dijabat Van Gaal. Namun tetep saja penampilan United tak kunjung membaik. Performanya seperti Roller Coaster. Menjanjikan pada sebuah pertandingan, namun berikutnya harus keok.

Seperti kemenangan meyakinkan pekan keempat kontra QPR dengan skor 4-0. Sepekan berselang United kembali kalah. Kali ini Leicester City yang menghadiahi kekalahan pada pertandingan pekan kelima, Minggu (21/9/2014) malam. Leicester menang dengan skor 5-3.

Pada partai tersebut United menampilkan tiga penyerangnya sekaligus. Banyak yang menilai kekalahan ini akibat dari tak seimbangnya sistem permainan United. Terlebih para penyerang United tak banyak membantu dalam sisi pertahanan.

Analisa lain kegagalan MU datang dari legendanya Gary Naville. Dia mengemukakan kekalahan ini karena performa lini tengah yang ia anggap terlalu lembek dan tidak mampu mengimbangi irama permainan Leicester yang dikomandoi gelandang senior Cambiasso.

Sementara mantan pemain Liverpool yang bekerja sebagai kolomnis di Daily Mail, Jamie Carragher, menyatakan kekelahan United terletak pada perekrutan pemain. Dia menilai United boros membelanjakan uang tanpa membeli pemain yang dianggapnya tepat.

Jadi MU kalah karena apa? Entahlah.   
                                                                                             
Namun satu yang pasti. Ya MU kalah karena mereka cuma cetak 3 gol. Sementara lawannya cetak 5 gol.

Lalu perdebatan akan berakhir. Lalu kajian tentang sepakbola kemudian tak lagi mengasyikkan. Tak ada lagi analisa yang mengungkapkan taktik, tehnik, sejarah hingga romantismenya.

Romantisme? Ya romantisme ini terkadang sebuah tim ataupun seorang pemain mampu menyuguhkan performa brilian.

Tengok apa yang dilakukan Tevez baru-baru ini. Selebrasi dua gol melawan Zenit dengan goyang robotnya dipersembahkan untuk sang putri tercinta agar tak lagi merajuk. Ataupun seleberasi cinta Gareth Bale yang dipersembahkannya untuk sang kekasih.

Lalu kemudian dimana unsur romantisme kekalahan United dan ketidakstabilan performa mereka?

Pada rezim Sir Alex Ferguson ketika masih menukangi Manchester United, istilah “hairdryer treatment“ begitu akrab ditelinga. Terlebih bagi pemain Manchester United. Hal itu lumrah terjadi saban setan merah tampil mengecawakan. 

Deretan korban ritual ini bisa dibilang panjang. Bahkan diantaranya menyandang status bintang lapangan hijau. Seperti dari Beckham, kapten United dan Inggris kini, Roney. Hingga mantan pemain Setan Merah dan megabintang El Real kini Cristiano Ronaldo.

Sebenarnya apa itu “hairdryer treatment“ ala Fergie?  Hairdryer treatment” adalah sebutan untuk kebiasaan mantan manager Man. United  itu untuk mengkritik pedas pemain di ruang ganti tim dengan berteriak langsung di depan muka untuk memperbaiki kinerjanya.

Bagi para pemain yang dilatih Fergie, “hairdryer treatment” ini seperti hantu. Menakutkan. Hingga kemudian berubah wujud auman singa yang lapar bila hasilnya tak memuaskan sang tuan.

Pernah suatu saat tepatnya pada musim 2006/07, para pemain United mungkin mengira Sir Alex tak membawa “senjatanya”. Anggapan ini ditunjang dengan keberhasilan Setan Merah yang telah memastikan juara Liga Inggris dua pekan sebelum partai pamungkas tergelar.

Saat itu MU berhadapan dengan  West Ham di Old Trafford. Pertandingan yang tak memiliki arti apapun untuk United. Karena bagi Setan Merah sendiri menang ataupun kalah mereka tetap juara Liga inggris.

 Kemudian yang terjadi, MU menjadi tim pesakitan setelah menelan kekalahan dengan skor 3-2 untuk West Ham.

"Kebanyakan tim akan melakukan selebrasi di ruang ganti, bersiap untuk sampanye dan sesi foto, tapi kami tak demikian. Kami menunduk menatap lantai seperti anak-anak sekolah, sang manajer memberikan kami 'hairdryer'." kenang Rooney

Bagi Fergie, selama MU menjalani partai yang mengecewakan, disitulah dia bakal memamerkan “senjatanya”. Sekalipun itu pada pertandingan tak lagi menentukan.

Talah dua musim sudah para pemain United tak lagi menemui “hairdryer treatment”. Waktu yang dirasa lama bagi seseorang untuk melupakan beberapa kebiasaan yang pernah diperoleh dan dijalani. Atau dengan bahasa kekinian disebut gagal move on.

Mungkin para pemain United ini begitu romantis. Hingga mewujudkan kerinduannya dengan menunjukkan performa yang tak stabil. 

Entahlah.

Ya memang kemasyhuran Fergie tak hanya pada deretan gelar. Namun kendali di ruang ganti yang begitu besar. Dan hairdryer treatment ini adalah senjatanya.

Jadi Van Gaal, siap menghadirkan kerinduan hairdryer treatment terhadap para pemain MU?

Jumat, 19 September 2014

Pembuktian Kemampuan Ozil



Berbicara statistik, baik itu dalam urusan mencetak gol maupun urusan assist jelas Ozil mengalami penurunan performa. Reputasi mentereng Ozil ketika berseragam Madrid dalam urusan assist dengan torehan 47 asisst, membuat Arsenal rela memecahkan rekor transfer sepanjang sejarah klub dengan £42,5 juta.

Ekspektasi besar dari fan terhadap pemain kelahiran Gelsenkirchen belum mampu dijawab dengan penampilan yang menawan di atas lapangan. Bahkan pada tiga pertandingan terakhir Liga Inggris, Ozil tak banyak berperan bagi tim.

Ozil dinilai tak banyak berperan saat ditempatkan sebagai pemain sayap dalam skema 4-1-4-1. Ozil dinilai lebih baik ditempatkan pada pusat permainan dalam skema 4-2-3-1 seperti yang dilakoninya ketika berseragam Madrid.

Dia tidak tertarik membantu pertahanan dan dia harus berada di tengah, diantara pemain berkualitas dia mampu mengeluarkan terbaiknya.” ujar pengamat Liga Inggris yang bekerja di BT Sport, Paul Scholes.

Sebagai pelatih Arsene Wenger membela pemainnya. Menurutnya tak adil menilai pemain hanya berdasarkan satu penampilan.

“Jangan salahkan Ozil sebagai penyebab kemunduran Arsenal.” tegas Wengar.    
                          
Pembelaan seperti ini membuat sang pemain senang. Dia yakin segera mampu membayar kepercayaan yang telah diberikan sang pelatih. Terlebih setelah penampilan buruknya saat tanding melawan Borussia Dortmund (17/9).

Ajang pembuktian itu tersaji pada pertandingan pekan kelima Liga Inggris menghadapi Aston Villa di Villa Park (20/9). Ozil bertekad laga ini sebagai ladang unjuk kemampuannya.

Kepercayaan Tinggi

Sementara di kubu lawan, Aston Villa bertekad melanjutkan tren positif yang ditorehkannya. Dalam empat pertandingan sebelumnya tak pernah kalah. Bahkan pada pekan keempat The Villans mampu mempecundangi runner-up musim lalu Liverpool  1-0 di Anfield.

Hingga pekan keempat Aston Villa menjadi tim dengan pertahanan terbaik. Gawang yang dikawal Brad Guzan baru bobol 1 kali. Jumlah gol kemasukan The Villans bahkan lebih baik dari pemimpin klasemen sementara Liga Inggris, Chelsea.
 
Kepercayaan diri tinggi ditunjukkan bek andalan Villans, Nathan Baker. Dia yakin keberhasilan mengalahkan tim besar seperti Liverpool bukan hanya kebetulan semata.

“Kami kini semakin kuat dan kuat. Kami memiliki lebih banyak pengalaman di tim ini dan kini semuanya mulai berbuah hasil,” tegasnya.

Senin, 15 September 2014

Mencari Tim Pematah Mitos



Untuk menemukan contoh nyata dari pepatah “mempertahankan lebih sulit daripada meraih” tidaklah sulit. Terlebih bila seorang penggemar tayangan sepakbola. Ya karena dalam bidang sepakbola pepatah itu seperti bersemayam dalam tubuh bernama Liga Champions.

Semenjak berganti format dari Piala Champion menjadi Liga Champions pada tahun 1992, belum pernah sang juara bertahan mampu mempertahankan mahkota juara dimusim berikutnya. Keperkasaan para juara bertahan tak kuasa ketika dihadapkan pada tantangan mempertahankan gelarnya.

Prestasi terbaik para incumbent dalam perjuangannya mempertahankan gelar menjadi milik Milan, Ajax, Juventus dan Manchester United. Para incumbent tersebut berhasil menembus final. Meskipun akhirnya rontok ditangan lawan-lawannya. Sementara pada edisi 2014 Bayern Munchen hanya sanggup mencapai semifinal sebelum tumbang oleh Real Madrid yang kemudian berhasil menjadi juara.

*

Liga Champions terus saja bergulir. Tak sekalipun juara bertahan berhasil mempertahankan mahkotanya. Setiap tahun, selalu keluar juara yang berbeda. Para juara bertahan selalu saja menemui kegagalan demi kegagalan.

Kisah para incumbent dalam kampanyanyenya mempertahankan mahkota seperti menjadi bumbu tersendiri bagi para penikmat sajian kulit bundar. Para penonton dibuat semakin geregetan. Terlebih kegagalan demi kegagalan kemudian berkembang menjadi mitos dalam pagelaran Liga Champions.

Bahkan pada musim 2014, Bayern harus gagal. Padahal segala elemen pendukung untuk menjuarai Liga Champions telah dimiliki. Termasuk fokus di Liga Champions. Kerena praktis, pada tahap menjelang akhir perjalanan Champions Bayern tak begitu disibukkan agenda lokal. Namun nyatanya Bayern harus keok oleh Madrid di semifinal.

*

Setelah keberhasilan merengkuh La Decima. Madrid kemudian berambisi untuk menjadi tim pertama yang mampu mempertahankan gelar Liga Champions. Mitos yang berkembang, membuat para punggawa Madrid terlecut untuk mematahkannya.

Gareth bale mengakui dengan perekrutan para pemain top seperti James, Kroos, Navas dan Chicarito membuatnya percaya mitos akan  pecah di tangan Real Madrid.

Ada alasan mengapa tak seorang pun telah melakukannya. Sulit untuk menang sekali apalagi dua kali berturut-turut, tapi kami merasa yakin.” tegasnya.

Namun keyakinan Bale sepertinya harus dikubur dalam. Terlebih hasil-hasil minor yang ditorehkan Madrid belakangan ini.Setelah keberhasilan mencaplok gelar Piala Super Eropa, prestasi El Real menukik.
Diawali kegagalan meraih gelar Piala Super Spanyol. Dua kekalahan telah di derita Madrid hanya dari tiga pekan awal La Liga. Bahkan pada pertandingan terakhir, El Real harus menerima kenyataan pahit setelah dalam Derby Madrileno harus kalah dari Atletico di Santiago Bernabeu.

Jelas beberapa torehan tersebut bukan kampanye yang baik bagi dalam upaya menjadi tim pertama yang mampu mempertahankan gelar. Terlebih hasil positif yang diperihatkan para pesaing seperti Munchen, Barcelona, Chelsea dan tentunya rival sekota yang beru mengalahkan mereka, Ateltico.

Mampukah Madrid mematahkan mitos Liga Champions?

Memang menjadi kebanggaan menjadi tim pertama yang mampu mempertahankan mahkota Liga Champions. Namun bagi Ancelotti dia hanya memikirkan laga melawan Basel. Dia tak ingin terlalu terburu-buru untuk membicarakan gelar.

“Pertandingan pertama nanti datang pada waktu yang tepat karenamerupakan kesempatan untuk menunjukkan reaksi positif dan menunjukkanhal-hal yang baik dalam tim.tegasnya.